Kelak, akan ada hari. Dengan izinNya, dimana Allah menjadi saksi. Saat terlingkar sebuah ikatan suci, aku memberinya nama "Mitsaqan Ghaliza", yang menghiasi jemari, walau aku pasti tak akan sesempurna istri nabi.
Namanya istimewa, "Mitsaqan Ghaliza". Bagiku kalimat itu memiliki kesakralan tersendiri, begitu suci, karena disaat itu aku telah berhasil menumbangkan keakuanku, dan ketakutanku tentang itu, mungkin aku kaku dan dingin terhadap rasa atau percakapan, namun ketika aku menyayangi, aku yakin bukan tanpa sebab, semua takdir pilihanNya, dan dia berhasil mencairkan dan meyakinkan rasa, seakan berkata, "tenanglah bersamaku, dengan izin allah, hingga akhir akan baik-baik saja."
Mitsaqan Ghaliza, sebuah kalimat yang memiliki arti luar biasa, tidak hanya secantik namanya, namin juga sekokoh ikrar yang digenggamnya. Ia adalah perjanjian yang kokoh, dalam kesakralan suci yang mengikat dua hati. Suatu perjanjian agung yang berat, seberat pengorbanan kasih sayang seorang qowwam, bagiku. Bagaimana tidak? Karena saat ijab qabul terlafadz, gemuruh seakan mengguncang langit Arsy-Nya, karena telah terucap perjanjian dan tanggungjawabnya di hadapan Allah, dengan disaksikan para malaikat, dan di aamiin-kan oleh seluruh hamba Allah yg menjadi saksi. Allahu Akbar!
Maka bagiku, betapa tinggi derajat qowwam, karena jikapun makmum mampu menghisap darah dan darah dari pada hidung sang qowwam, itu belum cukup menebus semua pengorbanan kasih sayang yang diberikannya. Maka tidak salah menurutku jika Allah meletakkan surga seorang istri di keridhoan suami, karena jangankan mencium surga, Allah tidak akan izinkan jika seorang istri durhaka pada suaminya, selama suaminya menyuruhNya dalam agama dan kebaikan. Naudzubillah yaa rabb :')
Begitu agung janji seorang qowwam, seandainya setiap makmum memahamkan, bagaimana tidak? Kelak seorang qowwam akan bertanggung jawab, atas makmum dan anak-anak perempuannya di hadapan Allah. Masya Allah :')
Teringkat olehku sebuah hadits,
"Tidak dibenarkan manusia, dan kalau dibenarkan manusia sujud kepada manusia, Allah akan memerintah wanita sujud kepada suaminya, karena besarnya jasa (hak) suami terhadap istrinya."
(HR. Ahmad)
Mitsaqan Ghaliza, manis namun sangat filosofis, bahkan dalam al qur'an namanya disebut sebanyak tiga kali, di dalam QS. 33: 7, QS. 4: 154, QS. 4: 21. Subhanallah! :')
Kelak akan terpelajari bahwa kebahagiaan orang tua bukan diukur dari seberapa besar materi yang kita beri, melainkan sebuah kebahagiaan dalam hati yang tiada dapat terukur dengan materi. Sebuah air mata indah yang mengalir dari mata ayah, dan ibu. Sebuah simpul senyum kebanggaan yang teramat karena dapat mengantarkan sang putra kesayangan menuju pelaminan, serta rasa haru yang hadir teramat sangat karena menyerahkan dan menikahkan seorang putri tercinta dengan seseorang pilihan atas ridhaNya untuk menggantikan tugas mulianya sebagai seorang ayah, kepada seorang laki-laki muda yang dicintai putriNya karenaNya. Pada ibu, adakah pemandangan yang lebih indah, selain melihat putra-putri kesayangannya tersenyum bahagia dia atas altar suci karena kasih sayang rabbNya?
Dan setelahnya, akan terdapat perubahan besar bak mahakarya agung sang maha cinta, seorang gadis kecil dalam pandangan ayah ibunya, yang selama ini berada dalam kasih sayang orang tua tercintanya, yang selama ini menghabiskan hari-hari indah bersamanya, akan berubah menjadi perempuan dewasa nan tangguh, menjadi seorang istri, menjadi seorang makmum dan sahabat bagi suami, dan menjadi tokoh pendidik pertama bagi anak-anaknya, mengabdikan tugas mulia Rabb-Nya, yang telah diamanahkan terhadapnya.
Berapa sakral dan istimewanya, Mitsaqan Ghaliza :')
Setelahnya bukan berarti tanpa uji, teringat sebuah tausiyyah "Bahwa cinta sejati tak akan berhenti pada sekali uji." Dan disaat itu seakan diberikan sebuah soal ujian, apakah diselesaikan ataukah menyerah? Pada jiwa yang mencintai karenaNya, tidak akan ada kata menyerah. Karena terlalu banyak rindu yang Allah titipkan pada cerita yang sedang dijalani.
Disaat jiwa tak dapat menjabarkan kecemasan yang membelenggu, ketika cemburu menghampiri, dan keterbatasan yang tidak selalu bisa mengawasi saat indra peraba dan penglihatan menjadi jeda, maka bagiku disaat nanti, aku hanya bisa menyampaikannya ke Arsy Penguasa Hati, agar dia yang menjaga hatimu, untuk diriku.
Dan kelak, aku memilih untuk mencintai dengan hati-hati, dimana setiap anak tangganya aku berjalan perlahan namun pasti, tapak-tapak langkah berbalut do'a pada ilahi.
Aku teringat, ada sebuah pepatah mengatakan, "Pejuang sejati adalah ia yg tau, kapan harus maju, kapan harus mundur, dan kapan harus diam menyusun strategi." Dan jika aku diam, percayalah bukan karena aku marah atau jemu, alasanku adalah karena aku ingin sesekali bertindak sebagai murid terbaik, untuk itu aku harus mempelajarimu, aku harus diam dan fokus memperhatikanmu. Memperhatikan ketegasanmu, nasehatmu, sedihmu, ataupun senyu bahagiamu. Dan aku paham, setiap orang suka di dengarkan, begitupun denganmu, bisa jadi itu sebuah nasihat, pesan, komentar, marah, dan kisah perjalanan hidupmu, ya saat itu aku harus diam, menciptakan hening, menghitung jumlah bicara agar aku tak kehilangan fokus dan makna, sebab bagiku mengecewakanmu adalah pantangan, walaupun tiada mungkin aku sempurna, setidaknya aku mencoba untuk terus belajar.
Dan saat itu bagiku anugerahmu adalah kelebihan bagiku, dan kekuranganmu akan menjadi hal yang membuatmu levih kucintai, sebab kekuranganmu bagaikan debu yang menerpa mataku, ketika aku berkedip, maka air mata akan menetralisir, dan kemudian debu itu luruh dan berakhir. Sebab kekuranganmu bukan masalah besar, karena aku sadar, tentu bukan kau orang yang diinginkan untuk melingkarkan cincin di jari manisku, yang kusebut tadi Mitsaqan Ghaliza, jika aku tak bisa mencintai keseluruhanmu. Sebab di saat itu, hanya dimataku saja kamu berwujud malaikat, tapi di dunia nyata kamu tetaplah manusia yang bukan tanpa cacat, dan saat itu ada porsi imbang antara mata dan nyata, dan yang kucintai adalah seorang manusia, bukan malaikat, jadi tak perlulah sempurna tanpa cacat, karena akupun bukan seorang bidadari.
Dan saat itu aku berharap, tetaplah disisiku, aku ingin bahagia dengan belajar membahagiakanmu, menjadi bagian kehidupanmu, bukan sekedar angan-angan ataupun sebuah kenangan.
Dan tak melulu soal materi, ada saatnya nanti rumah sederhana menjadi serupa syurga, karena hati adalah rumah terbaik yang kita punya, dan bisa tinggal dihatimu saja itu sudah merupakan suatu hal istimewa. Saat terlelah, akan ada saat berusaha untuk menjadi penyejuk pandangan, yang tertatap lekat berbagi kisah sebelum mata terpejam, agar tidur dalam tenang, dengan berbagi dan meraih solusi. Dan saat pagi menjelang, akan selalu ada memori yang terpampang di retinaku.
Di saat kaki berlutut, dan keningku menyentuh bumi, disaat itulah aku berdo'a agar selalu kekal hingga jannahnya dan terjaga, karena bukan dalam waktu singkat, kelak ada masanya kau menjadi bahuku saat aku terpuruk, menjadi penenang saat aku gelisah, menjadi penyeka air mata kala air bumi harus tumpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar